“Jadi semuanya merupakan kesalahan IMFA sendiri itu alasan dari majelis arbitrase Den Haag. Tentunya pemerintah Indonesia sebagai negara rumah istilahnya tidak bisa dipersalahkan. Karenanya arbitrase memutuskan menolak gugatan ganti rugi IMFA sebesar 469 juta USD,” imbuh Prasetyo.
Berdasarkan Article III New York Convention, Pemerintah RI berhak melakukan penagihan terhadap pengembalian biaya yang dikeluarkan selama proses arbitrase sebesar USD 2.975,017 dan GBP 361.247,23.
Putusan Arbitrase a quo bersifat final dan mengikat (final and binding) namun berdasarkan Article 71 English Arbitration Act 1996, pihak yang kalah masih diberi kesempatan untuk mengajukan challenge or appeal terhadap putusan dalam waktu 28 hari sejak putusan, yakni paling lambat tanggal 26 April 2019.
Prasetyo mengatakan kemenangan ini jadi bukti kegigihan pemerintah untuk menjaga dan mengamankan sumber daya alam untuk kepentingan masyarakat. Dia mengapresiasi seluruh pihak yang terlibat.
“Kerja sama disertai kesungguhan, keseriusan, dan konsentrasi penuh tersebut bukan dimaksudkan semata-mata menghindarkan pemerintah dari kekalahan sehingga harus membayar sejumlah uang yang ditentukan yang jumlahnya cukup besar. Tapi lebih dari itu untuk menunjukkan keseriusan kita untuk menjaga pengelolaan dan kekuasaan sumber kekayaan alam agar terselenggara dengan baik dan benar serta tidak merugikan bangsa dan negara kita. Terutama terhadap penguasaan asing yang harus kita jaga dan agar tidak merugikan,” ujar dia.(detikcom/d)