Muchtar Pakpahan, dari Seruan Mogok hingga Dipenjara pada Era Orba

MEMBELA BURUH

Muchtar tidak pernah bercita-cita menjadi praktisi hukum, apalagi memimpin serikat buruh. Saat masih SMA, Muchtar ingin menjadi dokter.

Begitu lulus, ia melanjutkan kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Methodis, Medan, Sumatera Utara, atas bantuan sang kakak, Budianto. Namun, perjalanan hidup Muchtar berubah. Ia kerap membaca artikel koran mengenai aktivitas sejumlah tokoh pergerakan mahasiswa tahun 1970-an, mulai dari Hariman Siregar (Ketua DM UI), Muslim Tampubolon (Ketua DM ITB), Nelson Parapat (aktivis GMKI USU Medan) hingga Sufri Helmi Tanjung (tokoh HMI IAIN Medan). Pria kelahiran 21 Desember 1953 itu pun meninggalkan kuliah kedokterannya, kemudian mendaftar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).

Jenjang pendidikannya ia teruskan hingga meraih gelar Doktor Ilmu Hukum Tata Negara dari Universitas Indonesia pada 1993. Hingga akhir hayat, Muchtar dikenal sebagai sosok yang gigih memperjuangkan nasib buruh dan rakyat kecil.

Ia merupakan salah satu tokoh pendiri SBSI pada 1992, serikat buruh independen pertama di Indonesia. Saat itu, rezim Orde Baru (Orba) di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto hanya mengakui satu serikat buruh, yakni Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Kendati demikian, kehadiran SPSI dinilai belum banyak mengubah kualitas hidup pekerja. Bahkan, SPSI dianggap tak memiliki daya tawar yang kuat menghadapi pengusaha. Menurut Muchtar, campur tangan pemerintah, pengusaha, dan aparat keamanan terlalu besar dalam mengelola atau memilih pengurus SPSI. Hal itu ikut mengurangi kemampuan organisasi menyalurkan aspirasi pekerja. Tidak jarang SPSI seperti tidak mau tahu dengan persoalan yang dihadapi pekerja. Itu sebabnya Muchtar bersedia menjadi Ketua Umum SBSI. “SBSI didirikan langsung oleh buruh sehingga saya mau aktif di dalamnya. Tegasnya bukan lagi sekadar membantu, seperti charity, tetapi bagaimana agar buruh mampu membela nasibnya sendiri,” ujar Muchtar, dikutip dari arsip Harian Kompas, 18 September 1993. Perspektif baru atas masalah perburuhan diperoleh Muchtar pada 1984, sejak SPSI bersikap pasif membiarkan para aktivis buruh diinterogasi aparat keamanan. Baca juga: Muchtar Pakpahan dan Obsesinya Membela Rakyat Kecil Sejak Masih Menarik Becak Padahal, apa yang dibuat aktivis buruh saat itu hanya mendirikan PUK (Pengurus Unit Kerja) SPSI di berbagai perusahaan. “Eksistensi SPSI, akhirnya saya lihat sekadar untuk security approach mengamankan buruh,” ucap dia.

 

Kiri ke kanan: Tim kuasa hukum Muchtar Pakpahan dan Eggi Sudjana mewakili Dewan Pimpinan Pusat Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (DPP SBSI), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), dan Dewan Pimpinan Pusat Partai Buruh (DPP PB) sambangi MK guna melengkapi berkas gugatan uji materi UU tax amnesty, Selasa (26/7/2016).(Fachri Fachrudin)

 

Seruan mogok Pada Februari 1994, Muchtar mengirimkan surat kepada Menteri Tenaga Kerja Abdul Latief. Isinya, pernyataan sikap SBSI tentang kondisi perburuhan di Indonesia. Dalam surat itu terlampir seruan mogok bagi para buruh. SBSI menyerukan kepada anggotanya untuk mogok bersama pada 11 Februari 1994. Aksi tersebut dilakukan di tempat kerja masing-masing selama satu jam, dari pukul 08.00 hingga pukul 09.00.

Cara ini dipakai Muchtar untuk memprotes kebijaksanaan Menteri Tenaga Kerja. “Ya satu jam cukup. Kita enggak mau buat ribut. Satu jam sudah cukup. Dari situ kita tahu, mana yang benar, mana yang kurang benar,” ujar Muchtar, dikutip dari arsip Harian Kompas, 3 Februari 1994. Dalam surat tersebut, Muchtar mengajukan sejumlah tuntutan, antara lain, meminta pemerintah membuka keran kebebasan berserikat bagi buruh dan kenaikan upah minimum atas ukuran dasar hidup layak saat itu.

Muchtar mengatakan, pada 4 Januari 1994, Menaker menerbitkan keputusan yang isinya memberi kebebasan buruh berserikat di luar SPSI serta mengurangi campur tangan militer dalam konflik perburuhan. Namun, 17 Januari 1994, Menaker kembali mengeluarkan peraturan. “Meski tidak disebut eksplisit, menyatakan, SPSI merupakan satu- satunya organisasi buruh,” kata Muchtar. Terkait upah buruh layak, kata Muchtar, SBSI sudah mengampanyekan hal itu sejak lama. Melalui Fraksi PDI, akhirnya dalam GBHN tercantum perlunya kebebasan berserikat dan upah buruh layak. Akan tetapi, pemerintah ketika itu masih memakai acuan kebutuhan fisik minimum (KFM).

Muchtar menilai, pemerintah telah bersikap arogan. SBSI beberapa kali minta bertemu Menaker untuk memberi masukan, tetapi tidak ditanggapi. “Kita mau nyumbang pikiran, ngasih masukan, tetapi enggak ditanggapi. Kita enggak pernah diajak dialog, enggak dikasih waktu. Ya inilah jalan yang kita pakai,” tutur dia. Selain Ketua Umum SBSI, Muchtar pernah menjabat sebagai anggota Governing Body ILO mewakili Asia dan Vice President World Confederation of Labor, ILO. Pada 2003, ia meninggalkan serikat buruh dan mendirikan Partai Buruh Sosial Demokrat. Kemudian, pada 2010, Muchtar memilih fokus di kantor pengacara Muchtar Pakpahan Associates dan mengajar di Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI).

Hingga beberapa tahun terakhir, Muchtar masih aktif membela hak-hak buruh, salah satunya dengan terlibat dalam aksi penolakan terhadap omnibus law UU Cipta Kerja. Kini, pejuang hak buruh itu telah berpulang. Muchtar tutup usia pada 21 Maret 2021 karena penyakit kanker, di Rumah Sakit Siloam Semanggi, Jakarta, sekitar pukul 22.30 WIB.

(Sumver :Kompas.com)