Membaca Muatan dan Implikasi Permenaker Outsourcing

 

 

 

A. Konsideran

Pada bagian konsideran,PermenakerOutsourcingini disebut merujuk pada UU No. 3 tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Nomor 23 Tahun 1948, UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), UU No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI) dan Keppres No. 84/P Tahun 2009.

Masih pada bagian konsideran, Permenaker Outsourcing ini menjelaskan bahwa dua Kepmenakertrans yang mengatur mengenai outsourcing dinilai sudah tidak sesuai dengan perkembangan saat ini, sehingga perlu dilakukan penyempurnaan.Hal ini ditegaskan pada bagian Ketentutan Penutup yang menyatakan dua kepmenakertrans itu sudah tak berlaku sejak diundangkannya Permenaker Outsourcing.

Dua keputusan menteri itu adalah Kepmenakertrans No. KEP. 101/MEN/VI/2004 tentang Tata Cara Perijinan Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh dan Kepmenakertrans Nomor Kep. 220/MEN/X/2004 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain.

Memperhatikan konsideran dan ketentuan penutup tersebut, Permenaker Outsourcing bukan aturan perubahan dari duaKepmenakertrans itu. Melainkan peraturan pengganti. Maka, semua ketentuan dalam dua Kepmenakertrans tersebut tidak lagi berlaku sebagai hukum positif.

Menariknya, pemerintah justru tidak mencantumkan putusan MK ke dalam konsideran.Padahal, jika dicermati, putusan MK turut mempengaruhi Permenaker Outsourcing. Setidaknya itu terlihat di Pasal 29 dan Pasal 31 Permenaker.

Bagian lain yang perlu mendapat sorotan adalah fakta di mana pemerintah tidak mengatakan pembentukan Permenaker itu sebagai jawaban atas tuntutan/desakan pekerja/buruh. Hal ini bertolak belakang dengan realitas di mana pada 3 Oktober 2012 Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) melakukan mogok kerja nasional (moknas) menuntut penghapusan sistem outsourcing.

Pilihan Menakertrans tidak mencantumkan desakan masyarakat pekerja/buruh dan putusan MK sebagai konsideran Permenaker bisa diduga karena alasan bahwa Kemenakertrans memberi kesan bahwa pembentukan Permenaker sebagai inisiatif murni Kemenakertrans.Bukan pengaruh desakan masyarakat pekerja/buruh dan putusan MK.

Selain itu Kemenakertrans mungkin tidak mau mau dituduh melanggar UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan karena menindaklanjuti putusan MK melalui peraturan menteri. Padahal Pasal 10 ayat (1) huruf (d) UU No. 12 tahun 2011 mengatur bahwa putusan MK harus ditindaklanjuti ke dalam undang-undang.

B. Penyerahan Pekerjaan dan Alur Kegiatan

Permenaker Outsourcing mengatur dua cara penyerahan pekerjaan kepada perusahaan lain. Ketentuan itu tidak berbeda dengan UU Ketenagakerjaan. Penyerahan pekerjaan kepada perusahaan lain itu bisa dilakukan melalui pemborongan pekerjaan atau melalui perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh (PJP/B). Untuk dapat menyerahkan pekerjaan melalui pemborongan pekerjaan, pemberi kerja harus terlebih dahulu menentukan bidang mana dari proses kegiatan perusahaannya yang dikategorikan sebagai pekerjaan penunjang.

Pasal 65 ayat (2) UU Ketenagakerjaanmengatur empat syarat pekerjaan yang boleh diborongkan kepada perusahaan lain. Keempat syarat itu adalah: (a) pekerjaan yang dikerjakan itu dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama; (b) pekerjaan itu dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan; (c) pekerjaan itu merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; (d) pekerjaan yang diborongkan tidak menghambat proses produksi secara langsung.

Pemerintah memberi penjelasan atas keempat syarat di atas. Penjelasan mana membuat Permenaker itu identik bukan sebagai ketentuan pokok tetapi sebagai ketentuan penjelasan. Pasal 3 ayat (2) Permenaker selengkapnya disusun dengan redaksi sebagai berikut :

“Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan penerima pemborongan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat sebagai berikut (garis bawah oleh Penulis) :

a. Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama baik manajemen maupun kegiatan pelaksanaan pekerjaan ;

b. Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan, dimaksudkan untuk memberi penjelasan tentang cara melaksanakan pekerjaan agar sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh perusahaan pemberi pekerjaan ;

c. Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan, artinya kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang mendukung dan memperlancar pelaksanaan kegiatan utama sesuai dengan alur kegiatan pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan oleh asosiasi sektor usaha yang dibentuk sesuai peraturan perundang-undangan ; dan

d. Tidak menghambat proses produksi secara langsung, artinya kegiatan tersebut merupakan kegiatan tambahan yang apabila tidak dilakukan oleh perusahaan pemberi pekerjaan, proses pelaksanaan pekerjaan tetap berjalan sebagaimana mestinya.

Pemerintah tidak boleh membuat sepihak penjelasan baru atas undang-undang, terlebih memasukkan ke dalam peraturan menteri, kecuali UU memberi mandat kepada eksekutif untuk melakukan itu. Oleh karenanya Pasal 3 ayat (2) Permenaker menambah penjelasan pada ketentuan yang bersumber pada Pasal 65 ayat (2)UU Ketenagakerjaan. Maka penjelasan itu menyimpang dan bertentangan dengan Pasal 65 ayat (2) UU Ketenagakerjaan.

Penyimpangan itu mudah disimpulkan karena Pasal 3 ayat (2) huruf (c) Permenaker menyebut asosiasi sektor usaha sebagai lembaga yang berwenang menetapkan alur kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan perusahaan. Kalau pemerintah memandang perlu memberi kewenangan kepada asosiasi sektor usaha menentukan alur kegiatan bisnis perusahaan, penjelasan Pasal 3 ayat (2) seharusnya dibuat dalam amandemen UU Ketenagakerjaan. Setidaknya, disusun ke dalam pasal tersendiri yang terpisah dari Pasal 3 ayat (2).

Sesuai Pasal 3 ayat (2) huruf c dan Pasal 4, perusahaan tidak memiliki lagi hak menentukan sendiri alur kegiatan pekerjaannya. Pemerintah mewajibkan pengusaha membentuk asosiasi sektor usaha. Berdasarkan Permenaker tersebut, organisasi sektor usaha satu-satunya yang dapat menetapkan alur kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan perusahaan. Regulasi itu mengandung ketidakpastian karena tidak mengatur siapa yang boleh menentukan alur kegiatan pekerjaan sebelum asosiasi sektor terbentuk.

C. Pendaftaran Perjanjian

Perjanjian pemborongan pekerjaan dan perjanjian PJP/B bukan dokumen rahasia. Kesimpulan itu didasarkanpada Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Permenaker yang mewajibkan pengusaha mendaftarkan perjanjian pemborongan dan perjanjian PJP/B ke kantor pemerintah yang mengurusi ketenagakerjaan di kabupaten/kota.

Pendaftaran perjanjian PJP/B dilakukan paling lambat 30 hari kerja sejak menandatangani perjanjian PJP/B.Sedangkan pendaftaran perjanjian pemborongan pekerjaan dilakukan paling lambat 30 hari kerja sebelum pekerjaan dilaksanakan.

Konsekuensi pendaftaran itu mewajibkan pemerintah menerbitkan bukti pendaftaran. Bukti pendaftaran perjanjian pemborongan harus terbit paling lambat 5 (lima) hari kerja dan bukti pendaftaran perjanjian PJP/B paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak menerima berkas pendaftaran.

Permenaker tidak menjelaskan apa tujuan mendaftarkan perjanjian pemborongan pekerjaan. Pendaftaran perjanjian pemborongan dan perjanjian PJP/B dikualifikasi sebagai sarana memeriksa implementasi Pasal 5, Pasal 9, Pasal 17, Pasal 20, Pasal 24 Permenaker.

Walau demikian, Permenaker tidak mengatur sanksi kepada perusahaan pemberi pekerjaan dan penerima pekerjaan yang tidak mendaftarkan perjanjian pemborongan. Permenaker hanya mengatur akibat hukum bagi perusahaan yang memborongkan pekerjaan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) yang menegaskan, hubungan kerja antara penerima pemborongan dengan pekerja/buruh beralih kepada perusahaan pemberi pekerjaan bila terbukti penyerahan pekerjaan itu dilakukan sebelum memiliki bukti pelaporan.

Pada bagian lain,Pasal 22 melarang perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh (PPJP/B) melaksanakan operasional perusahaan sebelum memiliki bukti pendaftaran perjanjian PJP/B. Bila PPJP/B tetap melaksanakan operasionalnya, dinas tenaga kerja tingkat propinsi mencabut izin operasional PPJP/B.

Dalam keadaan tersebut, Permenaker tidak mengatakan hubungan kerjasamaPPJP/B dengan perusahaan pemberi kerja berakhir demi hukum. Pasal 23 ayat (2) mengatur, pemenuhan hak pekerja/buruh tetap menjadi tanggungjawab PPJP/B. Oleh karena itu, pencabutan izin operasional PPJP/B tidak serta merta mengakhiri kontrak kerja antara PPJP/B dengan perusahaan pemberi kerja (user).

Bahkan, pencabutan izin operasional PPJP/B tidak mengakibatkan hubungan kerja para pekerja/buruh PPJP/B beralih ke perusahaan pengguna tenaga kerja (user). Bisa dikatakan, pekerja/buruh outsourcing tidak memperoleh apapun dari pencabutan izin operasional PPJP/B. Pencabutan izin operasional hanya memberi “derita” bagi perusahaan PPJP/B tetapi tidak memberi manfaat kepada pekerja/buruh.

Yang dibutuhkan pengusaha dan pekerja/buruh adalah regulasi yang bisa menjamin kelangsungan bekerja dan ketertiban berusaha. Daripada sibuk mengurus pencabutan ijin operasional, lebih baik pemerintah membuka dasar hukum yang tegas mewajibkan PPJP/B membayar kompensasi pengakhiran PKWT kepada pekerja/buruh outsourcing. Pemerintah sebaiknya tidak menghambat perusahaan user dan PPJP/B memberi kompensasi kepada pekerja/buruh outsourcing. Praktik pemberian kompensasi kepada pekerja/buruh outsourcing yang berakhir PKWT–sampai saat ini masih berlangsung di sektor pertambangan dan minyak.

D. Badan Hukum

Perusahaan yang dapat menerima pemborongan pekerjaan adalah perusahaan berbadan hukum. Yang digolongkan ke dalam badan hukum adalah perseroan terbatas (PT), yayasan dan koperasi. Permenaker tidak menyebut PT sebagai satu-satunya perusahaan yang boleh bertindak sebagai pemborong pekerjaan. Artinya, koperasi, yayasan dan PT dapat bertindak sebagai penerima atau pemborong pekerjaan.

Selanjutnya Pasal 24 mensyaratkan, perusahaan yang dapat bertindak sebagaai PPJP/B adalah perusahaan berbentuk perseroan terbatas (PT). Maka, koperasi, yayasan, firma, CV tidak boleh bertindak sebagai PPJP/B. Apabila PPJP/B bukan PT, hubungan kerja pekerja/buruh outsourcing – berdasarkan Pasal 66 ayat (3) dan ayat (4) UU Ketenagakerjaan- beralih ke perusahaan user.

 

E. Pembatasan Jenis Kegiatan Jasa Penunjang

Permenaker menetapkan lima macam kegiatan jasa penunjang, antara lain : (1) usaha pelayanan kebersihan (cleaning service); (2) usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh (catering); (3) usaha tenaga pengamanan (security/satuan pengamanan); (4) usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan; dan (5) usaha penyediaan angkutan bagi pekerja/buruh.

Pembatasan itu sejak awal sudah diatur dalam Pasal 66 UU Ketenagakerjaan. Keberatan pengusaha atas pembatasan lima bidang kegiatan jasa penunjang di atas muncul karena menggunakan penafsiran sejarah pembentukan UU Ketenagakerjaan. Pembatasan lima bidang jasa penunjang di atas secara gramatikal sudah baku. Kata ‘antara lain’dalam penjelasan Pasal 66 UU Ketenagakerjaanbersifat pasti dan terbatas pada apa yang disebut secara tegas dalam penjelasan itu.

Permenaker memberi dua alternatif bentuk hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan PPJP/B, yaitu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). Hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan PPJP/B selama ini dominan menggunakan PKWT. Bahkan, Permenaker tidak menjamin pekerja/buruh outsourcing akan semakin banyak bekerja dalam bingkai PKWTT. Permenaker tidak mengatur kewajiban perusahaan PJP/B memberi kompensasi uang bagi pekerja/buruh outsourcing saat berakhir PKWT. Permenaker terbaru memastikan, dominasi PKWT dalam PPJP/B tidak akan berkurang. Karena itu semangat Permenaker ini lebih rendah dari hukum yang terdapat dalam putusan MK.

F. Masa Berlaku Permenakertrans

Permenaker ini diundangkan pada 19 November 2012. Dalam ketentuan penutup,Kemenakertrans memberi kesempatan kepada perusahaan pemberi pekerjaan, perusahaan penerima pemborongan atau PPJP/B menyesuaikan diri dengan ketentuan yang terdapat dalam Permenaker paling lambat 12 bulan. Perusahaan pemborong pekerjaan atau PPJP/B yang tidak menyesuaikan perjanjian kerja dengan Permenaker tetap bertanggung jawab memenuhi hak pekerja/buruh yang diperjanjikan.

Ketentuan peralihan dalam Permenaker sejatinya ditujukan kepada perusahaan penyedia pekerjaan, perusahaan pemborong pekerjaan atau PPJP/B yang sedang terikat hubungan kerja pemborongan dan PJP/B pada saat Permenaker diberlakukan. Ketentuan peralihan dalam Pasal 34 ayat (1) tidak secara eksplisit ditujukan kepada perjanjian pemborongan dan PPJP/B yang sedang berjalan, sehingga ketentuan peralihan yang terdapat dalam Pasal 34 sasaran pengaturannya bersifat abstrak.

G. Resistensi Pengusaha dan Pekerja/buruh

Pengusaha menolak Permenaker, sedangkan serikat pekerja/serikat buruh asyik mengkaji kemanfaatannya sambil menggerutu. Pengusaha secara terbuka mengutarakan niat mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung (MA).

Oleh karena itu, pengusaha dan pekerja/buruh bila mengacu pada UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangandan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman memiliki hak yang sama untuk‘menggugat’Permenaker melalui MA. Materi pengujian yang dimohonkan bisa membatalkan sebagian atau seluruh isi peraturan yang diuji.

Pembatasan lima jenis kegiatan jasa penunjang – pada satu sisi -pengusaha menganggap – hal itu akan menambah jumlah pengangguran. Di sisi lain, pekerja menganggap, outsourcing tenaga kerja tetap merugikan pekerja/buruh.

Bila kedua asumsi itu benar, urusan outsourcing bukan lagi sekedar masalah hukum tetapi tergolong masalah kemanusiaan. Satjipto Rahardjo menulis, bernegara hukum adalah suatu pekerjaan total dan tidak hanya berhubungan dengan urusan hukum semata. Dari permasalahan hukum dan kemanusiaan, Sadjipto Rahardjo menekankan, penyelesaian utama pada problem kemanusiaan (Satjipto Rahardjo, 2009 : 105).

Sebagai fasilitator dan regulator, pemerintah harus bertindak proaktif dan bertindak adil menyelesaikan sengketa yang mendera pekerja/buruh dan pengusaha. Masalah outsourcing yang muncul ke publik merupakan masalah bangsa berdimensi nasional.

Praktik outsourcing selama ini ditengarai mengabaikan aspek keadilan sosial. Mochtar Kusumaatmadja menulis, “asas keadilan sosial mengamanatkan bahwa semua warga negara mempunyai hak yang sama dan bahwa semua orang sama di hadapan hukum” (Mochtar Kusumaatmadja, 2006 : 188). Untuk mewujudkan cita-cita itu, Satjipto Rahardjo mengatakan, pemangku jabatan publik dalam negara hukum harus membahagiakan rakyatnya (Satjipto Rahardjo, ibid).

*) Hakim Ad Hoc Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis.

**) Tulisan ini dukutip dari www.hukumonline.com