Menurut KSBSI, penerapan skala upah sampai hari ini dinilainya tidak efektif. Masih banyak pengusaha sampai tingkat daerah tidak menjalankannya, karena minimnya sosialisasi struktur skala upah.
“Bahkan Dewan Pengupahan tingkat kabupaten sendiri terkendala tidak ada kegiatan, ketika muncul Surat Rekomendasi terkait sosialisasi struktur skala upah karena ada kaitannya tentang Inflasi dan pertumbuhan ekonomi daerah masing-masing,” jelasnya.
Sarannya, pemerintah harus serius menjalankan sosialisasi dan training, antara pengusaha dan serikat buruh mengenai penerapan skala upah. Agar kedepannya tidak menjadi persoalan yang fatal antara pengusaha dan buruh.
“Intinya, didalam pasal PP No. 78 juga tidak semuanya merugikan buruh, ada juga kok yang bermanfaat. Nah, kalau ada poin yang merugikan, sebaiknya memang harus direvisi,” tegasnya.
Lanjutnya, jika mengacu pada PP No.78, kenaikan upah memang mengikuti kenaikan tingkat ekonomi secara nasional. Justru disinilah menjadi polemik, karena sering bertentangan pada kenaikan tingkat ekonomi daerah (APBD).
Sebenarnya Dewan Pengupahan Nasional Kemenaker, sudah beberapa kali menyusun draft revisi untuk menyempurnakan PP No. 78 agar menjadi solusi.
Dalam pertemuan lintas konfedersi serikat pekerja/buruh beberapa waktu lalu, salah satu perwakilan konfederasi juga mendesak survei kenaikan upah juga harus dievaluasi. Sebab, hasil dari survei 96 untuk menakar kelayakan masih banyak tidak efisien.
Kabarnya, kalangan pengusaha juga sering pusing dengan PP No.78, karena dalam PP ini memang belum sempurna dan sifatnya dinamis. “Jadi kesimpulannya, pemerintah, pengusaha dan serikat buruh memang harus duduk kembali untuk menyempurnakan produk peraturan upah ini,” tutupnya. (A1) Sumber :KSBSI.org , Email : dpp.fpe@gmail.com