Adapun, saat ini, Freeport tengah mengerjakan desain perekayasaan awal (Front End Engineering Design/FEED)smelter itu. Freeport juga berupaya untuk mengejar pembiayaan, komersial dan pengaturan mitra potensial untuk proyek smelter tersebut.
Targetnya, smelter itu selesai dibangun lima tahun sejak transaksi divestasi selesai. Desember lalu, Inalum membayar US$ 3,85 miliar untuk memiliki 51% saham PT Freeport Indonesia. Perinciannya sebanyak US$ 3,5 miliar dialokasikan untuk pembayaran 40% hak partisipasi Rio Tinto dan US$ 350 juta untuk Indocopper. Adapun, pendanaan untuk membayar saham itu berasal dari dana obligasi sebesar US$ 4 miliar.
Dengan divestasi itu, Freeport pun mendapatkan Izin Usaha Petambangan Khusus (IUPK) hingga 2041 dengan satu kali perpanjangan di tahun 2031. Dalam IUPK tersebut, tarif pajak penghasilkan perusahaan 25%, pajak laba 10% atas laba bersih dan royalti 4% untuk tembaga, 3,75% untuk emas, dan 3,25% untuk perak.
IUPK juga mewajiban Freeport untuk membayar bea ekspor konsentrat sebesar 5%, namun bea itu akan turun menjadi 2,5% ketika pembangunan smelter sudah melebihi 30%. Lalu, Freeport akan dibebaskan bea ekspor ketika kemajuan pembangunan smelter melebihi 50%.
Sementara itu, Freeport sedang dalam tahap akhir menambang tambang terbuka Grasberg, dan akan masuk transisi ke tambang bawah tanah Grasberg Block Cave (GBC) pada paruh pertama tahun ini. Ini membuat penerimaan Freeport berkurang, sehingga tidak membagikan dividen dalam dua tahun.
Di sisi lain, Head of Corporate Communication and Government Relations Inalum Rendi Achmad Witular mengatakan perusahaannya tidak akan mengeluarkan dana untuk pembangunan smelter. “Pendanaan untuk smelter akan diambil dari internal PT Freeport Indonesia. Jadi Inalum tidak menyetor atau mengeluarkan dana baru untuk pembuatan smelter,” ujar dia. (Sumber : Babe)