Pasar batu bara diperkirakan membaik tahun ini. Namun tak akan mencapai level 2019. Hanya saja peta pasar menjadi berubah. China lebih condong ke batu bara RI sementara India lebih ke Australia. Satu yang tak berubah.
Negara-negara barat seperti AS dan Eropa terus berupaya untuk meninggalkan bahan bakar polutif yang satu ini. Momentum Covid-19 dianggap sebagai periode yang tepat untuk semakin agresif melawan perubahan iklim dan membangun ekonomi yang lebih sustainable.
Kenaikan harga batu bara tidak hanya ditopang oleh fundamentalnya saja. Tetapi juga didorong oleh sentimen bahwa supersiklus komoditas akan terjadi lagi. Masih terlalu dini untuk mengatakan tahun ini commodity supercycle terjadi.
Menurut kolumnis Reuters, jika fenomena tersebut terjadi batu bara bukanlah komoditas yang dimaksud karena ada pergeseran pola kehidupan yang lebih condong ke arah yang sustainable.
Lantas mengapa harga batu bara sulit turun dan cenderung bertahan di atas US$ 80/ton? Jawabannya adalah karena harga batu bara China juga masih belum benar-benar melandai ke harga normal yang dipatok pemerintah.
Harga batu bara termal acuan China yang masih tinggi membuat harga batu bara global belum mau turun tajam. Minggu lalu harga batu bara termal Qinhuangdao bahkan naik 4% ke RMB 762/ton.
Harga batu bara termal Qinhaungdao seharusnya berada di rentang RMB 500 – RMB 570/ton agar tidak terlalu murah dan kemahalan sehingga masih bisa membuat penambang dan perusahaan utilitas untung.
Namun sekarang harga batu bara acuan domestik tersebut masih berada di atas RMB 700/ton. Hal ini semakin menimbulkan spekulasi bahwa keran impor China masih belum akan ditutup apalagi ketika ekonominya kian ekspansif. Jadilah harga batu bara global juga ikut kuat.(Sumber :CNBC Indonesia )