Mimpi Buruk Tenaga Kerja ala Omnibus Law

Dari hasil penelitian JETRO (Japan External Trade Organization) tahun 2020 terungkap, tidak hanya pengusaha di Indonesia yang mengeluh soal upah. Bahkan di Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam keluhan no.1 dari sisi pengusaha soal kenaikan upah. Memang secara nature pengusaha, khususnya di sektor padat karya, ingin agar upah ditekan semurah-murahnya. Pasal ini yang kemudian disisipkan dalam Omnibus Law bahwa upah minimum sektor padat karya akan ditentukan tersendiri.

Tapi betulkah daya saing hanya ditentukan dari upah? Berdasarkan database APO (The Asian Productivity Organization) tahun 2019, ada kontradiksi di mana tingkat produktivitas pekerja di Indonesia faktanya mencapai 26 ribu USD, jauh lebih tinggi daripada Vietnam, Kamboja, dan rata-rata ASEAN. Vietnam sendiri hanya 11,1 ribu USD dan rata-rata ASEAN 25 ribu USD. Pengusaha boleh saja menekan upah, bahkan kadang dengan enteng membandingkan upah Indonesia dan Vietnam. Tapi perlu dicatat, ada harga ada kualitas. Produktivitas pekerja di Vietnam tidak lebih baik dari Indonesia.

Masalah yang lebih serius dalam hal daya saing justru terletak pada ICOR (Incremental Capital Output Ratio). Indonesia memiliki ICOR di atas 6, menunjukkan bahwa berinvestasi di Indonesia itu tidak efisien. Salah satu faktor utamanya biaya logistik sudah mengambil 24% dari total kue ekonomi sendiri. Infrastruktur yang dibangun banyak yang kurang tepat sasaran, tidak berkorelasi dengan kepentingan menurunkan biaya logistik.

Investasi di Indonesia juga boros untuk biaya siluman. Pungli-pungli kecil sampai pungli kakap masih ramai berkeliaran, justru KPK dilemahkan. Padahal menurut World Economic Forum, hambatan dunia usaha yang paling besar adalah korupsi, kenapa di Omnibus Law tidak ada kata tegas untuk pemberantasan korupsi? Sungguh aneh.

Ilustrasi Buruh Perempuan. Foto: AFP

Indonesia harusnya malu bukan pada Singapura atau Malaysia, tapi terhadap Rwanda. Negara kecil di Afrika yang baru selesai perang saudara tahun 1994 ini berhasil menduduki peringkat ke-38 dari 190 negara dalam peringkat Kemudahan Berbisnis edisi 2020. Sementara Indonesia masih mangkrak di peringkat 73. Bicara soal urusan dokumen ekspor, di Rwanda cukup 30 jam urusan selesai. Sementara Indonesia butuh 61 jam untuk urusan yang sama, dua kali lipat lebih lama dari Rwanda.

Dari banyak faktor, komitmen Rwanda memberantas korupsi berkorelasi dengan makin mudahnya bisnis berjalan. Peringkat Indeks Perspeksi Korupsi Rwanda ada di 51, anehnya Indonesia bangga di posisi 85. Kalau mau perizinan cepat, tidak perlu bicara revolusi 4.0 segala, atau mau ganti ASN jadi robot. Rwanda mencontohkan, pemberantasan korupsi yang loyo akar muasal dari bobroknya sistem perizinan di suatu negara. Birokrat Indonesia harusnya studi banding ke Rwanda bukan ke Australia atau Singapura.

Kinerja investasi di Era Pak Jokowi memang tidak bisa dibilang jelek-jelek amat. Tapi perdebatan bukan terletak pada nominal investasi, melainkan soal berapa banyak serapan tenaga kerja yang tercipta dari investasi yang masuk. Pertanyaan ini mudah dijawab dengan membandingkan kualitas serapan tenaga kerja per satu persen pertumbuhan ekonomi. Pada era SBY pertama, 1% pertumbuhan ekonomi mampu menyerap 467.000 tenaga kerja. Di Era pak Jokowi, sayangnya 1% pertumbuhan ekonomi hanya menyerap 426.000 tenaga kerja.

Serapan tenaga kerja lemas karena sektor jasa termasuk jasa perdagangan dan keuangan selalu di anak emaskan. Dari total investasi PMA yang masuk tahun 2019, sebanyak 57,5% adalah sektor jasa. Dalam omnibus law, meskipun banyak disinggung soal manufaktur, dan kawasan ekonomi khusus, pasal terkait klaster pertanian sangat mengganggu.

Jika jasa impor dianak emaskan, alhasil kita akan masuk pada formula yang sama. Kualitas tenaga kerja turun. Investasi akan melepaskan diri dari sektor manufaktur, menyulap gudang menjadi tumpukan barang impor. Rente impor bersuka cita jika sampai omnibus law disahkan. Maka tujuan awal menciptakan lapangan kerja baru akan kontradiktif.

Jadi sudah terang benderang, mimpi menciptakan kualitas tenaga kerja yang unggul, dan memanfaatkan peluang bonus demografi tidak terwujud dalam draft Omnibus Law Cipta Kerja. Investasi abal-abal yang ingin dipacu masuk ke Indonesia, menjual SDA secara murah, eksploitasi pekerja dengan upah murah, ditambah aspek lingkungan dikebiri. Hasilnya lengkap sudah, Omnibus Law merupakan produk mutakhir dari oligarki yang itu-itu saja. Dengan pertimbangan akal sehat, maka sudah sepatutnya Omnibus Law tak perlu buang-buang waktu dibahas di DPR. Kembalikan naskahnya ke pemerintah, suruh mereka belajar kembali apa itu kualitas pertumbuhan ekonomi dan investasi. (Sumber : Kumparan/Bhima Yudhistira)